عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ”حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
سِتٌّ: إذَا لَقِيْتــَهُ
فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاك
فَأَجِبْهُ، وَإِذَا
اسْتَنْصَحَك فَانْصَحْهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
فَسَمِّتْهُ، وَ إِذاَ مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذاَ ماَت
فاتـْبَعْهُ”. (رَواهُ
مُسلم
Terjemah Hadis:
bersabda:r ia
berkata: Rasulullah tDari
Abu Hurairah
“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam, yaitu:
(1) jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam,
(2) jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya,
(3) jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat,
(4) jika ia bersin dan mengucapkan: ‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia dengan Yarhamukallah (artinya = mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadamu),
(5) jika ia sakit maka jenguklah dan
(6) jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya”.
(HR. Muslim, no. 2162).
“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam, yaitu:
(1) jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam,
(2) jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya,
(3) jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat,
(4) jika ia bersin dan mengucapkan: ‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia dengan Yarhamukallah (artinya = mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadamu),
(5) jika ia sakit maka jenguklah dan
(6) jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya”.
(HR. Muslim, no. 2162).
Apabila kita bertemu atau
akan berpisah dengan sesama Umat Islam, diwajibkan mengucapkan salam
penghormatan yang telah diajarkan dalam Al-Quran dan Hadis, yakni Assalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakatuh (Semoga Allah memberikan keselamatan, rahmat dan
barokah kepadamu). Dikemukakan dalam hadis,Dari Abdillah ibn Amr ra., bahwa
ada seseorang lelaki bertanya kepada Nabi saw. "Bagaimanakan Islam yang
baik itu ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Berilah makan kepada orang
yang memerlukannya dan ucapkanlah salam baik kepada orang yang sudah kamu kenal
maupun orang yang belum kamu kenal." (HR.Bukhari-Muslim).
Hukum menjawab salam adalah wajib. Jika orang yang diberi salam itu sendirian, maka harus langsung menjawabnya. Apabila orang yang diberi salam itu banyak, maka kewajiban menjawabnya fardlu kifayah (cukup salah seorang atau beberapa di antara mereka yang menjawab). Dari Ali ra., Nabi saw. bersabda: "Apabila ada sejumlah ja'maah lewat, cukuplah salah seorang atau beberapa di antara mereka memberi salam. Demikian juga orang-orang yang diberi salam, cukup salah seorang di antaranya yang menjawab." (HR. Abu Daud).
Hukum menjawab salam adalah wajib. Jika orang yang diberi salam itu sendirian, maka harus langsung menjawabnya. Apabila orang yang diberi salam itu banyak, maka kewajiban menjawabnya fardlu kifayah (cukup salah seorang atau beberapa di antara mereka yang menjawab). Dari Ali ra., Nabi saw. bersabda: "Apabila ada sejumlah ja'maah lewat, cukuplah salah seorang atau beberapa di antara mereka memberi salam. Demikian juga orang-orang yang diberi salam, cukup salah seorang di antaranya yang menjawab." (HR. Abu Daud).
Dalam hal ini disunnahkan
memberi jawaban salam secara lengkap, "Waalaikum salam warahmatullahi wa
barakatuh". Keutamaan menjawab salam secara lengkap ini ditegaskan oleh
Allah SWT. "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan lebih baik atau (minimal) balaslah dengan yang
serupa."(QS. An-Nisa: 86).
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh memiliki arti “Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu
diiringi dengan rahmat dari Allah dan juga barakah dari Allah untukmu.” Arti
yang sangat bagus sekali bukan. Salam merupakan doa sesama umat muslim yang
didalamnya berisi banyak kebaikan. Tetapi yang banyak terjadi diantara semua
adalah suka menyingkatnya. Coba dech perhatikan, misalnya pada saat kita sedang
chatting, update status, atau nulis sms terkadang menyingkatnya menjadi ‘Ass’.
Buka kamus bahasa inggris dan cari arti kata dari ‘ass’. ‘Ass’ bisa diartikan sebagai keledai, orang bodoh atau pantat. Atau bisa juga sebagai ungkapan kekesalan. Amat sangat jauh bukan artinya. Mungkin kita tidak bermaksud demikian, tetapi menyingkat salam menjadi ‘ass’ tidak bisa dibenarkan. , saran saya jika kita tidak sempat menuliskan ucapan salam secara lengkap lebih baik diganti dengan ucapan ‘hai’ atau ‘halo’ dan lain sebagainya. Mungkin itu lebih baik aripada kata ass
Buka kamus bahasa inggris dan cari arti kata dari ‘ass’. ‘Ass’ bisa diartikan sebagai keledai, orang bodoh atau pantat. Atau bisa juga sebagai ungkapan kekesalan. Amat sangat jauh bukan artinya. Mungkin kita tidak bermaksud demikian, tetapi menyingkat salam menjadi ‘ass’ tidak bisa dibenarkan. , saran saya jika kita tidak sempat menuliskan ucapan salam secara lengkap lebih baik diganti dengan ucapan ‘hai’ atau ‘halo’ dan lain sebagainya. Mungkin itu lebih baik aripada kata ass
Mendahului mengucapkan salam
hukumnya sunnah. Dari Ibnu Umar ra, bersabda Rasulullah saw. "Apabila dua orang muslim bertemu lantas salah
satunya memberi salam kepada yang lain, maka yang mendahului salam lebih
dicintai Allah SAW dan wajahnya lebih berseri-seri dari temannya itu. Apabila
keduanya berjabat tangan, maka Allah akan menurunkan seratus rahmat pada
keduanya, (dengan ketentuan) bagi yang memulainya mendapat 90 rhamat dan yang
diajak berjabat tangan mendapat 10 rahmat." (HR.
Tirmizi).
Oleh karena "salam"
dalam Islam ini mengandung doa, maka tidak hanya sekedar untuk bertegur sapa,
melainkan juga:
1. Suatu ajakan bersahabat antara umat Islam
2. Mempererat tali ukhuwah Islamiyah karena saling mendoakan
3. Menegakkan Syi'ar agama Allah SWT.
Ucapan salam ini sudah ada sebelum Nabi Adam as diturunkan ke dunia, dan akan tetap ada sampai kehidupan kita di alam akhirat kelak. Diterangkan dalam hadis, Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda: "Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk yang panjang (tinggi)-nya 60 dzira. Tatkala Nabi Adam sudah tercipta, Allah berfirman: pergilah dan berilah salam kepada para malaikat yang duduk, dan perhatikan penghormatan apa yang mereka berikan kepadamu, karena hal itu merupakan penghormatan kepadamu dan kepada anak cucumu (kelak). Lalu Nabi Adam (pergi menghampiri para malaikat) mengucapkan "Assalamu'alaikum", maka para malaikat menjawabnya "Assalamu alaika wa rahmatullah. Kata warahmatullah yang ditambahkan oleh para malaikat itu berarti semoga Allah memberi rahmat kepadamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
1. Suatu ajakan bersahabat antara umat Islam
2. Mempererat tali ukhuwah Islamiyah karena saling mendoakan
3. Menegakkan Syi'ar agama Allah SWT.
Ucapan salam ini sudah ada sebelum Nabi Adam as diturunkan ke dunia, dan akan tetap ada sampai kehidupan kita di alam akhirat kelak. Diterangkan dalam hadis, Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda: "Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk yang panjang (tinggi)-nya 60 dzira. Tatkala Nabi Adam sudah tercipta, Allah berfirman: pergilah dan berilah salam kepada para malaikat yang duduk, dan perhatikan penghormatan apa yang mereka berikan kepadamu, karena hal itu merupakan penghormatan kepadamu dan kepada anak cucumu (kelak). Lalu Nabi Adam (pergi menghampiri para malaikat) mengucapkan "Assalamu'alaikum", maka para malaikat menjawabnya "Assalamu alaika wa rahmatullah. Kata warahmatullah yang ditambahkan oleh para malaikat itu berarti semoga Allah memberi rahmat kepadamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Firman Allah SWT. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin)
pada hari mereka menemui-Nya adalah 'salam sejahtera dari segala bencana'. Dan
Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka." (QS. Al Ahzab: 44).
Sekalipun memberi dan menjawab ucapan salam itu suatu keharusan, namun ada beberapa keadaan yang melarang seseorang memberikan dan menjawab ucapan salam, yakni:
1. Saat buang air besar atau kecil
2. Saat membaca Al Quran
3. Saat mengumandangkan Azan
4. Saat mengumandangkan Iqamat
5. Saat Shalat.
Sekalipun memberi dan menjawab ucapan salam itu suatu keharusan, namun ada beberapa keadaan yang melarang seseorang memberikan dan menjawab ucapan salam, yakni:
1. Saat buang air besar atau kecil
2. Saat membaca Al Quran
3. Saat mengumandangkan Azan
4. Saat mengumandangkan Iqamat
5. Saat Shalat.
إِذَا انْتَهٰى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ
فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلٰى
بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَة
“Manakala
salah seorang kamu telah sampai ke majelis, maka hendaklah dia
memberi salam. Dan manakala ia hendak berdiri, maka hendaklah ia
memberi salam. Tentu saja yang awal tidak lebih berhak daripada yang
akhir.”( Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad :1007 dan
1008),
Salam
ketika meninggalkan majelis adalah suatu adab kesopanan yang mulai banyak
ditinggalkan di sebagian negeri. Bahkan terkadang oleh orang yang berilmu,
dan para peminatnya. Sepatutnya manakala hendak memasuki ruang belajar,
mereka memberikan salam terlebih dahulu. Demikian pula bila
hendak keluar. Yang pertama tidak lebih utama dari yang akhir. Oleh
karena itu menyebutkan salam adalah diperintahkan seperti juga di
dalam hadits berikut ini:
إِنَّ السَّلاَمَ
اِسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالٰى وَضَعَهُ فِي اْلأَرْضِ فَأَفْشُوْا
السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ .
“Sesungguhnya
salam adalah nama dari nama-nama Allah Ia meletakkannya di bumi. Maka
sebarkanlah salam di antara kamu.”HR
Abu Dawud)
Perlu
diketahui bahwa beberapa perintah menyebarkan salam amat luas
lingkupnya, namun hanya sebagian kecil orang yang menyempitkannya, karena
mereka tidak mengetahui bahwa itu sunnah atau memang karena malas
mengamalkannya.
Termasuk
bagian dari adab
berungkali salam setelah berpisah walaupun sejenak.
Karena
Nabi telah bersabda:
إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ
عَلَيْهِ فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ
لقيه فَلْيُسَلِّمُ عَلَيْهِ أَيْضًا
“Jika
salah seorang kamu berjumpa saudaranya hendaklah ia memberi salam
kepadanya. Jika di antara keduanya terhalang oleh pohon, dinding atau batu
kemudian ia berjumpa lagi dengannya, hendaklah ia memberi salam lagi
kepadanya.”(HR Abu dawud)
Termasuk
lagi di antaranya adalah memberi salam kepada orang yang sedang
shalat. Banyak orang mengira bahwa hal itu tidak dianjurkan. Bahkan
Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutnya makruh. Padahal
dalam Syarah Muslim dijelaskan bahwasanya
menjawab salam dengan isyarat adalah sunnah. Bahkan banyak hadits
yang menjelaskan salam para sahabat terhadap Nabi ketika beliau sendang shalat, sedangkan beliau
membiarkan mereka demikian. Di sini saya akan sebutkan salah satu
hadits itu. Yakni hadits Ibnu Umar yang menuturkan:
- خَرَجَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلٰى قُبَاءَ يُصَلِّيْ فِيْهِ
فَجَاءَتْهُ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمُوْا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ : فَقُلْتُ
لبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِيْنَ كَانُوْا يُسَلِّمُوْنَ
عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟ قَالَ : يَقُوْلُ هٰكَذَا . وَبَسَطَ
كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بِنْ عَوْنٍ كَغَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ
وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلٰى فَوْقَ .
“Rasulullah keluar ke
Quba’ bershalat di situ. Kemudian orang-orang Anshar datang
padanya. Mereka memberikan salam kepadanya. Perawi mengatakan:
“Kemudian aku berkata kepada Bilal: “Bagaimana kamu melihat Rasulullah menjawab salam mereka
ketika mereka memberikan salam kepadanya sedangkan beliau sendang shalat?”
Perawi melanjutkan: “Bilal berkata: “Demikian,” sambil dia membuka telapak
tangannya. Dia menjadikan bagian dalamnya di bawah dan bagian atas telapak
tangannya di atas. (HR abu dawud wattirmizi soheh hasan)”
Sesungguhnya
Rasulullah masuk
masjid, Kemudian masuk pula seseorang lalu shalat. Kemudian orang itu
menghampiri lalu memberikansalam kepada Rasulullah Rasulullah menjawab, beliau
bersabda: “Kembalilah dan shalatlah sesungguhnya kamu belum
shalat.” Lelaki itu pun kembali lalu shalat sebagaimana beliau
bershalat. Kemudian dia datang kepada Nabi dan memberikan salam kepadanya.
(ia malakukan demikian ini sampai tiga kali).”
Hadits
ini telah ditakhrij oleh Asy-Syaikhain maupun lainnya. Hadits ini
dipegangi pula oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Nuzulul Abrar(350-251) bahwasanya:
“Manakala
seseorang telah memberi salam kepada saudaranya lalu berpisah
sebentar kemudian berjumpa, maka disunnahkan pula untuk memberi salam lagi yang
kedua atau ketiga.”
Di
sini menunjukkan dianjurkannya salam kepada orang di dalam masjid.
Seperti cerita salam orang Anshar kepada Nabi di masjid Quba. Namun bersama ini kita melihat pula
orang yang meremehkan sunnah. Mereka masuk masjid dan tidak mau
memberikan salam kepada orang yang di dalamnya.Mereka mengira hal itu
adalah makruh. Semoga tulisan ini menjadi peringatan bagi saya dan bagi
mereka pula. Sesungguhnya peringatan itu memberikan manfaat bagi kaum
mukminin.
Haramnya Mengucapkan Salam Kepada Orang Kafir
Dari Abu Hurairah
-radhiallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Janganlah kalian yang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.” (HR. Muslim no. 2167)
Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- dia berkata: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ
“Apabila ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah, “Wa ‘alaikum (dan juga atasmu).” (HR. Al-Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Dari Usamah bin Zaid -radhiallahu ‘anhu- dia berkata:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Janganlah kalian yang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.” (HR. Muslim no. 2167)
Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- dia berkata: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ
“Apabila ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah, “Wa ‘alaikum (dan juga atasmu).” (HR. Al-Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Dari Usamah bin Zaid -radhiallahu ‘anhu- dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ, وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ -وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ- وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ. حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ, وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَفِي الْمَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ. فَلَمَّا غَشِيَتْ الْمَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ, خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ ثُمَّ قَالَ: لَا تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا. فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ وَقَرَأَ عَلَيْهِمْ الْقُرْآنَ
“Bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengendarai
keledai yang di atasnya ada pelana bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah
bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin
‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang
Badar. Beliau kemudian berjalan melewati suatu majelis yang di dalam majelis
tersebut bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah
patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula
Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi
kepulan debu hewan kendaraan, ‘Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan
selendang sambil berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.” Kemudian Nabi
-shallallahu ‘alaihi wasallam- mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan
turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka menuju Allah sambil
membacakan Al-Qur’an kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 6254 dan Muslim no. 1798)
Penjelasan
Ucapan salam merupakan ucapan penghormatan dan doa kepada kaum muslimin, karenanya kaum muslimin dilarang untuk mengucapkan salam kepada orang kafir, karena mereka dilarang untuk menghormati dan mendoakan orang kafir. Hanya saja sebagai bentuk keadilan yang diperintahkan oleh Allah, kapan mereka mengucapkan salam kepada kita maka kitapun menjawabnya, tapi dengan lafazh, “Wa ‘alaikum,” yakni: Untuk kamu juga yang semisal dengannya. Hanya saja hadits Usamah di atas menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada sekelompok orang yang di antara mereka ada orang-orang muslim dan ada juga orang-orang kafir.
Ucapan salam merupakan ucapan penghormatan dan doa kepada kaum muslimin, karenanya kaum muslimin dilarang untuk mengucapkan salam kepada orang kafir, karena mereka dilarang untuk menghormati dan mendoakan orang kafir. Hanya saja sebagai bentuk keadilan yang diperintahkan oleh Allah, kapan mereka mengucapkan salam kepada kita maka kitapun menjawabnya, tapi dengan lafazh, “Wa ‘alaikum,” yakni: Untuk kamu juga yang semisal dengannya. Hanya saja hadits Usamah di atas menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada sekelompok orang yang di antara mereka ada orang-orang muslim dan ada juga orang-orang kafir.
Salah
satu diantara kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya adalah sebagaimana
yang disebutkan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ;
إذا دعاك فأجبه;
Hukum
mengadakan acara (da’wah); pernikahan dan yang selainnya
Mengadakan
acara (pesta) pernikahan adalah hal yang disyari’atkan –bahkan sebagian ulama
menyatakannya wajib- berdasarkan beberapa keterangan dari Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wasallam-. Diantaranya adalah;
Perkataan
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Abdul Rahman bin ‘Auf
–radhiyallahu ‘anhu- ketika beliau telah menikah;
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah
acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor kambing.”[1].
Rasulullah
-shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Ali –radhiyallahu ‘anhu- ketika
hendak menikahi Fathimah –radhiyallahu ‘anha-;
إِنَّهُ
لا بُدَّ لِلْعَرُوسِ مِنْ وَلِيمَةٍ
“Pengadaan
acara (pesta) nikah adalah hal yang mesti bagi pasangan yang telah menikah.”[2].
Adapun
dalam momen-momen yang lain, seperti; khitanan, aqiqahan, dst; maka hukum
mengadakan acara berkenaan dengannya adalah mubah, karena hal itu adalah
perkara keduniaan dan hukum asal dari setiap perkara keduniaan adalah mubah
hingga ada dalil yang menegaskannya.
Berkenaan
dengan hidangan yang disajikan, maka tidak ada ketentuan khusus tentang
jenisnya. Namun hal tersebut disesuaikan dengan kesanggupan orang yang
mengadakannya. Disebutkan dalam beberapa keterangan bahwa Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengadakan pesta walimah dengan
menyajikan kurma dan sawiiq (sejenis bubur)[3],
dan pernah pula Beliau menyajikan daging kambing[4].
Waktu
pengadaan walimah (acara pernikahan)
Yang
dzhahir dari kebiasaan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah
mengadakan walimah setelah menikah, sebagaimana walimah yang Beliau adakan
sehari setelah usai menikah dengan Zainab –radhiyallahu ‘anha-[5]. Imam Bukhari –rahimahullah-
membawakan riwayatnya, bahwa ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
berjumpa dengan Abdul Rahman bin ‘Auf dan mengetahui bahwa Beliau telah
menikah, -ketika itu- Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata;
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah
acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor kambing.”[6].
Namun
demikian, tidak ada perintah tegas berkenaan dengan hal tersebut. Olehnya, maka
perkara ini adalah perkara yang luas; boleh mengadakannya setelah atau pada
saat akad nikah.
Beberapa
adab dalam mengundang
1.
Mengundang secara langsung (menyebutkan namanya)
2.
Mengundang orang-orang yang baik dan shaleh.
3.
Tidak boros dan tidak juga bakhil dalam acara.
4.
Tidak mendesak seorang yang tengah berpuasa untuk membatalkan puasanya.
5.
Bersikap ramah terhadap seluruh undangan
Mengadakan
undangan yang sama secara berulang
Sebagian
ulama ada yang menyatakan bahwa mengadakan undangan sejenis secara berulang
lebih dari dua kali adalah makruh. Hukum ini diambil guna menghindari timbulnya
fenomena saling berbangga-banggaan, bermegah-megahan, dan sombong. Disebutkan
dalam sebuah riwayat;
الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ
وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ وَالْيَوْمَ الثَّالِثَ سُمْعَةٌ وَرِيَاءٌ
“Acara
walimah di hari pertama adalah haq (disyari’atkan), di hari kedua adalah ma’ruf
(baik), dan di hari ketiga adalah sum’ah dan riya.”[7].
Namun
hadits yang disebutkan adalah lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang
perawi yang majhul (tidak jelas asal-usulnya) bernama Abdullah biu Utsman at
Tsaqafi[8].
Olehnya maka lebih tepat –wallahu a’lam- jika dikatakan bahwa mengadakan acara
lebih dari dua hari adalah hal yang mubah, tergantung kadar keluasan seseorang,
yaitu selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk bermegah-megahan, riya’ serta
sum’ah[9].
Ibnu Siiriin –rahimahullah- berkata, dari ayahnya;
أَنَّهُ لَمَّا بَنَى بِأَهْلِهِ أَوْلَمَ
سَبْعَة أَيَّام فَدَعَا فِي ذَلِكَ أُبَيّ بْن كَعْب فَأَجَابَهُ
“Ketika
ayahnya telah melangsungkan pernikahan dengan ibunya, maka (di hari setelahnya)
Beliau mengadakan walimah selama tujuh hari. Ketika itu, Beliau mengundang Ubay
bin Ka’ab –radhiyallahu ‘anhu-, dan Ubay menghadirinya.”[10].
Hukum
menghadiri undangan
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa hukum menjawab undangan pernikahan adalah wajib, dan
ulama berbeda pendapat tentang hukum menjawab undangan selain pernikahan. Namun
sebagian dari mereka menyatakan bahwa hukum menghadirinya –pun adalah wajib;
baik undangan pernikahan atau undangan yang selainnya, berdasarkan sabda
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-;
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى
الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Apabila
salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri pesta, maka hendaklah ia
mendatanginya.”[11].
إِذَا
دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
“Apabila
salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri pesta pernikahan, maka
hendaklah ia mendatanginya.”[12].
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ
يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ
فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seburuk-buruk
makanan adalah makanan (yang dihidangkan) dalam sebuah pesta yang undangannya
hanya terdiri dari orang-orang kaya –saja- dan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah
mendurhakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[13].
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ
عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ
“Apabila
salah seorang dari kamu diundang oleh saudaranya, maka hendaklah ia
menjawabnya; baik undangan itu adalah undangan pernikahan atau yang lainnya.”[14].
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
خَمْسٌ رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ ،
وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ.
“Kewajiban
seorang muslim dengan muslim yang lainnya ada lima, yaitu; menjawab salam,
menjenguk orang sakit, mengikuti jenazahnya, menjawab undangan, dan mendoakan
ia ketika bersin (sedan ia mengucapkan hamdalah).”[15].
Dan
jika terdapat dua undangan dalam satu waktu yang bersamaan, dan tidak mungkin
untuk dikompromikan, maka hendaklah didahulukan yang terdekat rumahnya atau
yang terlebih dahulu menyampaikan undangannya. Aisyah –radhiyallahu ‘anha-
bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-;
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ
فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Wahai
Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Kepada saiapakah dari keduanya
saya harus (terlebih dahulu) memberikan hadiah?. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda; kepada yang terdekat rumahnya dari rumahmu.”[16].
إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ
أَقْرَبَهُمَا بَابًا فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبُهُمَا جِوَارًا وَإِنْ
سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِى سَبَقَ
“Apabila
bertepatan dua buah undangan dalam satu waktu, maka jawablah undangan orang
yang paling dekat rumahnya dengan rumahmu. Namun apabila seorang dari mereka
telah lebih dahulu mengundangmu, maka jawablah undangan orang tersebut.”[17].
Beberapa
hal yang menyebabkan seorang boleh tidak menghadiri undangan:
Orang
yang mengundang adalah seorang yang diboikot syar’I karena penyimpangan agama yang ia lakukan, seperti berbuat dzhalim,
fasiq, dan bid’ah.
Jika
yang mengundang adalah non muslim, maka menjawab undangannya adalah mubah
kecuali jika di dalam undangan tersebut ada kemungkaran, maka haram
menghadirinya.
Undangan
bersifat umum, maka tidak wajib menghadirinya.
Undangan
disampaikan secara tidak jelas, misalnya dengan mengatakan: “Jika anda berkenan
hadir, maka kami silahkan.”.
Undangan tersebut dikhususkan bagi orang-orang
kaya saja, dan tidak diundang orang-orang miskin untuk menghadirinya.
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ
يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ
فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seburuk-buruk
makanan adalah makanan (yang dihidangkan) dalam sebuah pesta yang undangannya
hanya terdiri dari orang-orang kaya –saja- dan orang-orang miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah
mendurhakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
6.
. Jika diprediksi bahwa dengan kehadiran seorang maka suasana acara akan
keruh, maka boleh bagi orang tersebut tidak menghadiri undangan; baik karena ia
memiliki masalah dengan pihak yang mengundang atau dengan salah seorang tamu
yang –juga- turut diundang dalam acara tersebut.
7. . Jika dalam undangan tersebut
terdapat kemungkaran, maka tidak boleh menghadirinya kecuali jika seorang mampu
merubah kemungkaran tersebut. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda;
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ
يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ
“Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah sekalipun ia duduk dalam
sebuah perjamuan yang disuguhkan khamar padanya.”[19].
8. . Undangan untuk hari ke-2, yaitu jika
acaranya berlangsung lebih dari sehari.
9.. Jika seorang memiliki udzur; baik
karena jarak yang jauh, kecapean, sakit, hujan, dan yang semisalnya.
Menghadiri
undangan bagi yang tidak diundang
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa haram bagi seorang yang tidak diundang untuk menghadiri
sebuah undangan. Terkecuali jika ia itu adalah seorang yang diketahui adalah
pendamping pribadi seorang yang diundang, yang akan selalu ikut dalam setiap
acara yang dihadiri oleh orang itu. Namun demikian, tetaplah disyariatkan bagi
orang yang diundang tersebut untuk memintakan izin bagi orang yang dibawanya
itu, sebagaimana riwayat Abu Mas’ud al Anshaari –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau
berkata;
كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يُقَالُ
لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- فَعَرَفَ فِى وَجْهِهِ الْجُوعَ فَقَالَ لِغُلاَمِهِ وَيْحَكَ
اصْنَعْ لَنَا طَعَامًا لِخَمْسَةِ نَفَرٍ فَإِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَدْعُوَ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَامِسَ خَمْسَةٍ. قَالَ فَصَنَعَ ثُمَّ أَتَى النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- فَدَعَاهُ خَامِسَ خَمْسَةٍ وَاتَّبَعَهُمْ رَجُلٌ فَلَمَّا
بَلَغَ الْبَابَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ هَذَا اتَّبَعَنَا
فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْذَنَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ رَجَعَ ». قَالَ لاَ بَلْ آذَنُ
لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ.
“Ada
seorang laki-laki dari Anshar bernama Abu Syu’aib. Ia memiliki seorang pembantu
yang berprofesi sebagai tukang daging. Suatu ketika Abu Syu’aib melihat
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan Ia mengetahui dari raut wajah
Rasulullah bahwa Beliau sedang lapar. Maka Ia pun menyuruh pembantunya itu
membuat makanan untuk lima orang, karena Ia akan mengundang kelimanya. Maka
sang pembantu pun membuat makanan untuk lima orang, kemudian Ia mendatangi
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengundangnya untuk makan bersama
lima orang sahabatnya. Rasulullah bersama kelima sahabatnya pun mendatangi
undangan itu yang diikuti oleh seorang lagi (yang tidak diundang). Ketika
sampai di pintu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada Abu
Syu’aib; saya meminta izin kepadamu untuk mengikutkan seorang sahabat saya ini.
Jika engkau mengizinkannya, maka ia masuk, tetapi jika engkau tidak
mengizinkannya, maka ia akan pulang. Abu Syu’aib berkata; saya mengizinkannya
wahai Rasulullah.”[20].
Beberapa
adab bagi yang diundang
1.
Niat ibadah dan memuliakan orang yang mengundang
2.
Tidak masuk ke rumah orang yang mengundang kecuali dengan izin darinya.
3.
Tidak bersikap berlebihan ketika menghadiri undangan, yaitu agar orang-orang
melihat, memuji dan menyanjungnya
4.
Tidak menolak untuk mencicipi sajian dalam undangan kecuali jika ia tengah
berpuasa. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ
كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Apabila
salah seorang dari kalian diundang maka hendaklah ia menjawabnya. Jika ia
tengah berpuasa, maka hendaklah ia mendoakan (pemilik hajatan itu). Namun jika
ia sedang tidak berpuasa, maka hendaklah ia mencicipi hidangan dalam acara
itu.”[21].
5.
Memperhatikan adab-adab dalam mencicipi makanan.
6.
Mendoakan orang yang mengundang ketika akan pulang. Beberapa lafadz doanya
adalah;
اللهم اغفر لهم وارحمهم وبارك لهم في رزقهم
“Ya
Allah, ampunilah mereka, rahmati dan berkahilah harta mereka.”[22].
أَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ
عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ
“Orang-orang
baik telah memakan hidanganmu, para malaikat telah mendoakanmu, dan orang-orang
yang berpuasa telah berbuka di acaramu ini.”[23].
Lafadz
doa ketika menghadiri undangan pernikahan;
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ
وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ
“Semoga
Allah memberkahi engkau di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan semoga
Allah (senantiasa) mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.”[24].
7. Tidak
berlama-lama menghadiri undangan.
Demikian
beberapa hal berkenaan dengan permasalahan seputar undangan, wa alhamdulillahi
Rabbi al ‘Aalamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar