Rabu, 20 Maret 2013

KEWAJIBAN MUSLIM TERHADAP MUSLIM LAINNYA


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  ”حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
سِتٌّ: إذَا لَقِيْتــَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاك
فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَك  فَانْصَحْهُ،  وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ، وَ إِذاَ  مَرِضَ  فَعُدْهُ، وَإِذاَ  ماَت
فاتـْبَعْهُ”.  (رَواهُ مُسلم

Terjemah Hadis:
 bersabda:r ia berkata: Rasulullah tDari Abu Hurairah
“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam, yaitu: 
(1) jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, 
(2) jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, 
(3) jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, 
(4) jika ia bersin dan mengucapkan: ‘Alhamdulillah’ maka do’akanlah ia dengan Yarhamukallah (artinya = mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepadamu), 
(5) jika ia sakit maka jenguklah dan 
(6) jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya”.
(HR. Muslim, no. 2162).

Apabila kita bertemu atau akan berpisah dengan sesama Umat Islam, diwajibkan mengucapkan salam penghormatan yang telah diajarkan dalam Al-Quran dan Hadis, yakni Assalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakatuh (Semoga Allah memberikan keselamatan, rahmat dan barokah kepadamu). Dikemukakan dalam hadis,Dari Abdillah ibn Amr ra., bahwa ada seseorang lelaki bertanya kepada Nabi saw. "Bagaimanakan Islam yang baik itu ya Rasulullah?" Rasul menjawab, "Berilah makan kepada orang yang memerlukannya dan ucapkanlah salam baik kepada orang yang sudah kamu kenal maupun orang yang belum kamu kenal." (HR.Bukhari-Muslim).

Hukum menjawab salam adalah wajib. Jika orang yang diberi salam itu sendirian, maka harus langsung menjawabnya. Apabila orang yang diberi salam itu banyak, maka kewajiban menjawabnya fardlu kifayah (cukup salah seorang atau beberapa di antara mereka yang menjawab). Dari Ali ra., Nabi saw. bersabda: "Apabila ada sejumlah ja'maah lewat, cukuplah salah seorang atau beberapa di antara mereka memberi salam. Demikian juga orang-orang yang diberi salam, cukup salah seorang di antaranya yang menjawab." (HR. Abu Daud). 
Dalam hal ini disunnahkan memberi jawaban salam secara lengkap, "Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatuh". Keutamaan menjawab salam secara lengkap ini ditegaskan oleh Allah SWT. "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik atau (minimal) balaslah dengan yang serupa."(QS. An-Nisa: 86).

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh memiliki arti “Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu diiringi dengan rahmat dari Allah dan juga barakah dari Allah untukmu.” Arti yang sangat bagus sekali bukan. Salam merupakan doa sesama umat muslim yang didalamnya berisi banyak kebaikan. Tetapi yang banyak terjadi diantara semua adalah suka menyingkatnya. Coba dech perhatikan, misalnya pada saat kita sedang chatting, update status, atau nulis sms terkadang menyingkatnya menjadi ‘Ass’.
Buka kamus bahasa inggris dan cari arti kata dari ‘ass’. ‘Ass’ bisa diartikan sebagai keledai, orang bodoh atau pantat. Atau bisa juga sebagai ungkapan kekesalan. Amat sangat jauh bukan artinya. Mungkin kita tidak bermaksud demikian, tetapi menyingkat salam menjadi ‘ass’ tidak bisa dibenarkan. , saran saya  jika kita tidak sempat menuliskan ucapan salam secara lengkap lebih baik diganti dengan ucapan ‘hai’ atau ‘halo’ dan lain sebagainya. Mungkin itu lebih baik aripada kata ass

Mendahului mengucapkan salam hukumnya sunnah. Dari Ibnu Umar ra, bersabda Rasulullah saw. "Apabila dua orang muslim bertemu lantas salah satunya memberi salam kepada yang lain, maka yang mendahului salam lebih dicintai Allah SAW dan wajahnya lebih berseri-seri dari temannya itu. Apabila keduanya berjabat tangan, maka Allah akan menurunkan seratus rahmat pada keduanya, (dengan ketentuan) bagi yang memulainya mendapat 90 rhamat dan yang diajak berjabat tangan mendapat 10 rahmat." (HR. Tirmizi).



Oleh karena "salam" dalam Islam ini mengandung doa, maka tidak hanya sekedar untuk bertegur sapa, melainkan juga:
1. Suatu ajakan bersahabat antara umat Islam
2. Mempererat tali ukhuwah Islamiyah karena saling mendoakan
3. Menegakkan Syi'ar agama Allah SWT.

Ucapan salam ini sudah ada sebelum Nabi Adam as diturunkan ke dunia, dan akan tetap ada sampai kehidupan kita di alam akhirat kelak. Diterangkan dalam hadis, Dari Abu Hurairah ra., Nabi saw. bersabda: "Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk yang panjang (tinggi)-nya 60 dzira. Tatkala Nabi Adam sudah tercipta, Allah berfirman: pergilah dan berilah salam kepada para malaikat yang duduk, dan perhatikan penghormatan apa yang mereka berikan kepadamu, karena hal itu merupakan penghormatan kepadamu dan kepada anak cucumu (kelak). Lalu Nabi Adam (pergi menghampiri para malaikat) mengucapkan "Assalamu'alaikum", maka para malaikat menjawabnya "Assalamu alaika wa rahmatullah. Kata warahmatullah yang ditambahkan oleh para malaikat itu berarti semoga Allah memberi rahmat kepadamu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Firman Allah SWT. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin) pada hari mereka menemui-Nya adalah 'salam sejahtera dari segala bencana'. Dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka." (QS. Al Ahzab: 44).
Sekalipun memberi dan menjawab ucapan salam itu suatu keharusan, namun ada beberapa keadaan yang melarang seseorang memberikan dan menjawab ucapan salam, yakni:
1. Saat buang air besar atau kecil
2. Saat membaca Al Quran
3. Saat mengumandangkan Azan
4. Saat mengumandangkan Iqamat
5. Saat Shalat.
  
  إِذَا انْتَهٰى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ اْلأُوْلٰى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَة
          Manakala salah seorang kamu telah sampai ke majelis, maka hendaklah dia memberi salam. Dan manakala ia hendak berdiri, maka hendaklah ia memberi salam. Tentu saja yang awal tidak lebih berhak daripada yang akhir.”( Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad :1007 dan 1008),

Salam ketika meninggalkan majelis adalah suatu adab kesopanan yang mulai banyak ditinggalkan di sebagian negeri. Bahkan terkadang oleh orang yang berilmu, dan para peminatnya. Sepatutnya manakala hendak memasuki ruang belajar, mereka memberikan salam terlebih dahulu. Demikian pula bila hendak keluar. Yang pertama tidak lebih utama dari yang akhir. Oleh karena itu menyebutkan salam adalah diperintahkan seperti juga di dalam hadits berikut ini:
  إِنَّ السَّلاَمَ اِسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالٰى وَضَعَهُ فِي اْلأَرْضِ فَأَفْشُوْا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ    . 
          Sesungguhnya salam adalah nama dari nama-nama Allah  Ia meletakkannya di bumi. Maka sebarkanlah salam di antara kamu.”HR  Abu Dawud)

Perlu diketahui bahwa beberapa perintah menyebarkan salam amat luas lingkupnya, namun hanya sebagian kecil orang yang menyempitkannya, karena mereka tidak mengetahui bahwa itu sunnah atau memang karena malas mengamalkannya.

Termasuk bagian dari adab  berungkali salam setelah berpisah walaupun sejenak.
Karena Nabi  telah bersabda:
  إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لقيه فَلْيُسَلِّمُ عَلَيْهِ أَيْضًا
          Jika salah seorang kamu berjumpa saudaranya hendaklah ia memberi salam kepadanya. Jika di antara keduanya terhalang oleh pohon, dinding atau batu kemudian ia berjumpa lagi dengannya, hendaklah ia memberi salam lagi kepadanya.”(HR Abu dawud)
          
Termasuk lagi di antaranya adalah memberi salam kepada orang yang sedang shalat. Banyak orang mengira bahwa hal itu tidak dianjurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam Al-Adzkar menyebutnya makruh. Padahal dalam Syarah Muslim dijelaskan bahwasanya menjawab salam dengan isyarat adalah sunnah. Bahkan banyak hadits yang menjelaskan salam para sahabat terhadap Nabi  ketika beliau sendang shalat, sedangkan beliau membiarkan mereka demikian. Di sini saya akan sebutkan salah satu hadits itu. Yakni hadits Ibnu Umar yang menuturkan:
  -  خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلٰى قُبَاءَ يُصَلِّيْ فِيْهِ فَجَاءَتْهُ اْلأَنْصَارِ فَسَلَّمُوْا عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي قَالَ : فَقُلْتُ لبِلاَلٍ كَيْفَ رَأَيْتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ حِيْنَ كَانُوْا يُسَلِّمُوْنَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي؟  قَالَ : يَقُوْلُ هٰكَذَا . وَبَسَطَ كَفَّهُ وَبَسَطَ جَعْفَرُ بِنْ عَوْنٍ كَغَّهُ وَجَعَلَ بَطْنَهُ أَسْفَلَ وَجَعَلَ ظَهْرَهُ إِلٰى فَوْقَ .
          “Rasulullah   keluar ke Quba’ bershalat di situ. Kemudian orang-orang Anshar datang padanya. Mereka memberikan salam kepadanya. Perawi mengatakan: “Kemudian aku berkata kepada Bilal: “Bagaimana kamu melihat Rasulullah  menjawab salam mereka ketika mereka memberikan salam kepadanya sedangkan beliau sendang shalat?” Perawi melanjutkan: “Bilal berkata: “Demikian,” sambil dia membuka telapak tangannya. Dia menjadikan bagian dalamnya di bawah dan bagian atas telapak tangannya di atas. (HR abu dawud wattirmizi soheh hasan)”

      Sesungguhnya Rasulullah  masuk masjid, Kemudian masuk pula seseorang lalu shalat. Kemudian orang itu menghampiri lalu memberikansalam kepada Rasulullah  Rasulullah menjawab, beliau bersabda: “Kembalilah dan shalatlah sesungguhnya kamu belum shalat.” Lelaki itu pun kembali lalu shalat sebagaimana beliau bershalat. Kemudian dia datang kepada Nabi  dan memberikan salam kepadanya. (ia malakukan demikian ini sampai tiga kali).”

          Hadits ini telah ditakhrij oleh Asy-Syaikhain maupun lainnya. Hadits ini dipegangi pula oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Nuzulul Abrar(350-251) bahwasanya:

          “Manakala seseorang telah memberi salam kepada saudaranya lalu berpisah sebentar kemudian berjumpa, maka disunnahkan pula untuk memberi salam lagi yang kedua atau ketiga.”

          Di sini menunjukkan dianjurkannya salam kepada orang di dalam masjid. Seperti cerita salam orang Anshar kepada Nabi  di masjid Quba. Namun bersama ini kita melihat pula orang yang meremehkan sunnah. Mereka masuk masjid dan tidak mau memberikan salam kepada orang yang di dalamnya.Mereka mengira hal itu adalah makruh. Semoga tulisan ini menjadi peringatan bagi saya dan bagi mereka pula. Sesungguhnya peringatan itu memberikan manfaat bagi kaum mukminin.

Haramnya Mengucapkan Salam Kepada Orang Kafir

Dari Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-bersabda:
لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Janganlah kalian yang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang di antara mereka di jalan, maka desaklah dia ke jalan yang paling sempit.” (HR. Muslim no. 2167)
Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- dia berkata: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا: وَعَلَيْكُمْ
“Apabila ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, maka jawablah, “Wa ‘alaikum (dan juga atasmu).” (HR. Al-Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Dari Usamah bin Zaid -radhiallahu ‘anhu- dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكِبَ حِمَارًا عَلَيْهِ إِكَافٌ تَحْتَهُ قَطِيفَةٌ فَدَكِيَّةٌ, وَأَرْدَفَ وَرَاءَهُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ -وَهُوَ يَعُودُ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ- وَذَلِكَ قَبْلَ وَقْعَةِ بَدْرٍ. حَتَّى مَرَّ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ أَخْلَاطٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُشْرِكِينَ عَبَدَةِ الْأَوْثَانِ وَالْيَهُودِ, وَفِيهِمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ وَفِي الْمَجْلِسِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ. فَلَمَّا غَشِيَتْ الْمَجْلِسَ عَجَاجَةُ الدَّابَّةِ, خَمَّرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ أَنْفَهُ بِرِدَائِهِ ثُمَّ قَالَ: لَا تُغَبِّرُوا عَلَيْنَا. فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ وَقَفَ فَنَزَلَ فَدَعَاهُمْ إِلَى اللَّهِ وَقَرَأَ عَلَيْهِمْ الْقُرْآنَ

“Bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengendarai keledai yang di atasnya ada pelana bersulam beludru Fadaki, sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang beliau ketika hendak menjenguk Sa’ad bin ‘Ubadah di Bani Al Harits Al Khazraj, dan peristiwa ini terjadi sebelum perang Badar. Beliau kemudian berjalan melewati suatu majelis yang di dalam majelis tersebut bercampur antara kaum muslimin, orang-orang musyrik, para penyembah patung, dan orang-orang Yahudi. Dan di dalam majelis tersebut terdapat pula Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abdullah bin Rawahah. Saat majlis itu dipenuhi kepulan debu hewan kendaraan, ‘Abdullah bin Ubay menutupi hidungnya dengan selendang sambil berkata, “Jangan mengepuli kami dengan debu.” Kemudian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengucapkan salam pada mereka lalu berhenti dan turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak mereka menuju Allah sambil membacakan Al-Qur’an kepada mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 6254 dan Muslim no. 1798)
Penjelasan
Ucapan salam merupakan ucapan penghormatan dan doa kepada kaum muslimin, karenanya kaum muslimin dilarang untuk mengucapkan salam kepada orang kafir, karena mereka dilarang untuk
menghormati dan mendoakan orang kafir. Hanya saja sebagai bentuk keadilan yang diperintahkan oleh Allah, kapan mereka mengucapkan salam kepada kita maka kitapun menjawabnya, tapi dengan lafazh, “Wa ‘alaikum,” yakni: Untuk kamu juga yang semisal dengannya. Hanya saja hadits Usamah di atas menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada sekelompok orang yang di antara mereka ada orang-orang muslim dan ada juga orang-orang kafir.

Salah satu diantara kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ;
إذا دعاك فأجبه;
Hukum mengadakan acara (da’wah); pernikahan dan yang selainnya
Mengadakan acara (pesta) pernikahan adalah hal yang disyari’atkan –bahkan sebagian ulama menyatakannya wajib- berdasarkan beberapa keterangan dari  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Diantaranya adalah;
Perkataan  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Abdul Rahman bin ‘Auf –radhiyallahu ‘anhu- ketika beliau telah menikah;
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor kambing.”[1].
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Ali –radhiyallahu ‘anhu- ketika hendak menikahi Fathimah –radhiyallahu ‘anha-;
إِنَّهُ لا بُدَّ لِلْعَرُوسِ مِنْ وَلِيمَةٍ
“Pengadaan acara (pesta) nikah adalah hal yang mesti bagi pasangan yang telah menikah.”[2].
Adapun dalam momen-momen yang lain, seperti; khitanan, aqiqahan, dst; maka hukum mengadakan acara berkenaan dengannya adalah mubah, karena hal itu adalah perkara keduniaan dan hukum asal dari setiap perkara keduniaan adalah mubah hingga ada dalil yang menegaskannya.
Berkenaan dengan hidangan yang disajikan, maka tidak ada ketentuan khusus tentang jenisnya. Namun hal tersebut disesuaikan dengan kesanggupan orang yang mengadakannya. Disebutkan dalam beberapa keterangan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengadakan pesta walimah dengan menyajikan kurma dan sawiiq (sejenis bubur)[3], dan pernah pula Beliau menyajikan daging kambing[4].

Waktu pengadaan walimah (acara pernikahan)
Yang dzhahir dari kebiasaan  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah mengadakan walimah setelah menikah, sebagaimana walimah yang Beliau adakan sehari setelah usai menikah dengan Zainab –radhiyallahu ‘anha-[5]. Imam Bukhari –rahimahullah- membawakan riwayatnya, bahwa ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berjumpa dengan Abdul Rahman bin ‘Auf dan mengetahui bahwa Beliau telah menikah, -ketika itu- Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata;
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor kambing.”[6].
Namun demikian, tidak ada perintah tegas berkenaan dengan hal tersebut. Olehnya, maka perkara ini adalah perkara yang luas; boleh mengadakannya setelah atau pada saat akad nikah.
Beberapa adab dalam mengundang
1. Mengundang secara langsung (menyebutkan namanya)
2. Mengundang orang-orang yang baik dan shaleh.
3. Tidak boros dan tidak juga bakhil dalam acara.
4. Tidak mendesak seorang yang tengah berpuasa untuk membatalkan puasanya.
5. Bersikap ramah terhadap seluruh undangan
Mengadakan undangan yang sama secara berulang
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa mengadakan undangan sejenis secara berulang lebih dari dua kali adalah makruh. Hukum ini diambil guna menghindari timbulnya fenomena saling berbangga-banggaan, bermegah-megahan, dan sombong. Disebutkan dalam sebuah riwayat;
الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ وَالْيَوْمَ الثَّالِثَ سُمْعَةٌ وَرِيَاءٌ
“Acara walimah di hari pertama adalah haq (disyari’atkan), di hari kedua adalah ma’ruf (baik), dan di hari ketiga adalah sum’ah dan riya.”[7].
Namun hadits yang disebutkan adalah lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang majhul (tidak jelas asal-usulnya) bernama Abdullah biu Utsman at Tsaqafi[8]. Olehnya maka lebih tepat –wallahu a’lam- jika dikatakan bahwa mengadakan acara lebih dari dua hari adalah hal yang mubah, tergantung kadar keluasan seseorang, yaitu selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk bermegah-megahan, riya’ serta sum’ah[9]. Ibnu Siiriin –rahimahullah- berkata, dari ayahnya;
أَنَّهُ لَمَّا بَنَى بِأَهْلِهِ أَوْلَمَ سَبْعَة أَيَّام فَدَعَا فِي ذَلِكَ أُبَيّ بْن كَعْب فَأَجَابَهُ
“Ketika ayahnya telah melangsungkan pernikahan dengan ibunya, maka (di hari setelahnya) Beliau mengadakan walimah selama tujuh hari. Ketika itu, Beliau mengundang Ubay bin Ka’ab –radhiyallahu ‘anhu-, dan Ubay menghadirinya.”[10].
Hukum menghadiri undangan
Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum menjawab undangan pernikahan adalah wajib, dan ulama berbeda pendapat tentang hukum menjawab undangan selain pernikahan. Namun sebagian dari mereka menyatakan bahwa hukum menghadirinya –pun adalah wajib; baik undangan pernikahan atau undangan yang selainnya, berdasarkan sabda  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-;
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Apabila salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri pesta, maka hendaklah ia mendatanginya.”[11].
إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri pesta pernikahan, maka hendaklah ia mendatanginya.”[12].
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan (yang dihidangkan) dalam sebuah pesta yang undangannya hanya terdiri dari orang-orang kaya –saja- dan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[13].
إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ
“Apabila salah seorang dari kamu diundang oleh saudaranya, maka hendaklah ia menjawabnya; baik undangan itu adalah undangan pernikahan atau yang lainnya.”[14].
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ.
“Kewajiban seorang muslim dengan muslim yang lainnya ada lima, yaitu; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazahnya, menjawab undangan, dan mendoakan ia ketika bersin (sedan ia mengucapkan hamdalah).”[15].
Dan jika terdapat dua undangan dalam satu waktu yang bersamaan, dan tidak mungkin untuk dikompromikan, maka hendaklah didahulukan yang terdekat rumahnya atau yang terlebih dahulu menyampaikan undangannya. Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-;
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
“Wahai Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Kepada saiapakah dari keduanya saya harus (terlebih dahulu) memberikan hadiah?. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda; kepada yang terdekat rumahnya dari rumahmu.”[16].
إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبُهُمَا جِوَارًا وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِى سَبَقَ
“Apabila bertepatan dua buah undangan dalam satu waktu, maka jawablah undangan orang yang paling dekat rumahnya dengan rumahmu. Namun apabila seorang dari mereka telah lebih dahulu mengundangmu, maka jawablah undangan orang tersebut.”[17].
Beberapa hal yang menyebabkan seorang boleh tidak menghadiri undangan:
Orang yang mengundang adalah seorang yang diboikot syar’I karena penyimpangan agama  yang ia lakukan, seperti berbuat dzhalim, fasiq, dan bid’ah.
Jika yang mengundang adalah non muslim, maka menjawab undangannya adalah mubah kecuali jika di dalam undangan tersebut ada kemungkaran, maka haram menghadirinya.
Undangan bersifat umum, maka tidak wajib menghadirinya.
Undangan disampaikan secara tidak jelas, misalnya dengan mengatakan: “Jika anda berkenan hadir, maka kami silahkan.”.
 Undangan tersebut dikhususkan bagi orang-orang kaya saja, dan tidak diundang orang-orang miskin untuk menghadirinya.  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan (yang dihidangkan) dalam sebuah pesta yang undangannya hanya terdiri dari orang-orang kaya –saja- dan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
      6.  . Jika diprediksi bahwa dengan kehadiran seorang maka suasana acara akan keruh, maka boleh bagi orang tersebut tidak menghadiri undangan; baik karena ia memiliki masalah dengan pihak yang mengundang atau dengan salah seorang tamu yang –juga- turut diundang dalam acara tersebut.

      7. . Jika dalam undangan tersebut terdapat kemungkaran, maka tidak boleh menghadirinya kecuali jika seorang mampu merubah kemungkaran tersebut.  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah sekalipun ia duduk dalam sebuah perjamuan yang disuguhkan khamar padanya.”[19].

      8. . Undangan untuk hari ke-2, yaitu jika acaranya berlangsung lebih dari sehari.

      9.. Jika seorang memiliki udzur; baik karena jarak yang jauh, kecapean, sakit, hujan, dan    yang semisalnya.
Menghadiri undangan bagi yang tidak diundang
Mayoritas ulama menyatakan bahwa haram bagi seorang yang tidak diundang untuk menghadiri sebuah undangan. Terkecuali jika ia itu adalah seorang yang diketahui adalah pendamping pribadi seorang yang diundang, yang akan selalu ikut dalam setiap acara yang dihadiri oleh orang itu. Namun demikian, tetaplah disyariatkan bagi orang yang diundang tersebut untuk memintakan izin bagi orang yang dibawanya itu, sebagaimana riwayat Abu Mas’ud al Anshaari –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau berkata;
كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَعَرَفَ فِى وَجْهِهِ الْجُوعَ فَقَالَ لِغُلاَمِهِ وَيْحَكَ اصْنَعْ لَنَا طَعَامًا لِخَمْسَةِ نَفَرٍ فَإِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَدْعُوَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَامِسَ خَمْسَةٍ. قَالَ فَصَنَعَ ثُمَّ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَدَعَاهُ خَامِسَ خَمْسَةٍ وَاتَّبَعَهُمْ رَجُلٌ فَلَمَّا بَلَغَ الْبَابَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ هَذَا اتَّبَعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْذَنَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ رَجَعَ ». قَالَ لاَ بَلْ آذَنُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ.
“Ada seorang laki-laki dari Anshar bernama Abu Syu’aib. Ia memiliki seorang pembantu yang berprofesi sebagai tukang daging. Suatu ketika Abu Syu’aib melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan Ia mengetahui dari raut wajah Rasulullah bahwa Beliau sedang lapar. Maka Ia pun menyuruh pembantunya itu membuat makanan untuk lima orang, karena Ia akan mengundang kelimanya. Maka sang pembantu pun membuat makanan untuk lima orang, kemudian Ia mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengundangnya untuk makan bersama lima orang sahabatnya. Rasulullah bersama kelima sahabatnya pun mendatangi undangan itu yang diikuti oleh seorang lagi (yang tidak diundang). Ketika sampai di pintu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada Abu Syu’aib; saya meminta izin kepadamu untuk mengikutkan seorang sahabat saya ini. Jika engkau mengizinkannya, maka ia masuk, tetapi jika engkau tidak mengizinkannya, maka ia akan pulang. Abu Syu’aib berkata; saya mengizinkannya wahai Rasulullah.”[20].
Beberapa adab bagi yang diundang
1. Niat ibadah dan memuliakan orang yang mengundang
2. Tidak masuk ke rumah orang yang mengundang kecuali dengan izin darinya.
3. Tidak bersikap berlebihan ketika menghadiri undangan, yaitu agar orang-orang melihat, memuji dan menyanjungnya
4. Tidak menolak untuk mencicipi sajian dalam undangan kecuali jika ia tengah berpuasa.  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;
إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang maka hendaklah ia menjawabnya. Jika ia tengah berpuasa, maka hendaklah ia mendoakan (pemilik hajatan itu). Namun jika ia sedang tidak berpuasa, maka hendaklah ia mencicipi hidangan dalam acara itu.”[21].
5. Memperhatikan adab-adab dalam mencicipi makanan.
6. Mendoakan orang yang mengundang ketika akan pulang. Beberapa lafadz doanya adalah;
اللهم اغفر لهم وارحمهم وبارك لهم في رزقهم
“Ya Allah, ampunilah mereka, rahmati dan berkahilah harta mereka.”[22].
أَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ
“Orang-orang baik telah memakan hidanganmu, para malaikat telah mendoakanmu, dan orang-orang yang berpuasa telah berbuka di acaramu ini.”[23].
Lafadz doa ketika menghadiri undangan pernikahan;
بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ
“Semoga Allah memberkahi engkau di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan semoga Allah (senantiasa) mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.”[24].
7. Tidak berlama-lama menghadiri undangan.
Demikian beberapa hal berkenaan dengan permasalahan seputar undangan, wa alhamdulillahi Rabbi al ‘Aalamiin.

MANI MAZI WADI


Bagi kalangan pesantren 3 macam cairan yang keluar dari kemaluan ini sudah sangat jelas perbedaannya. Namun bagi masyarakat terkadang masih sangat awam dengan ketiga permasalahan ini, padahal hal ini merupakan sesuatu yang harus diketahui oleh tiap insan, karena menyangkut dengan suci atau tidak yang berakibat kepada sah shalat atau tidak.

Mani:
Mani atau sperma adalah cairan yang keluar dari lubang kemaluan/qubul ketika rangsangan syahwat memuncak, baik karena berhubungan badan, onani ataupun menghayal dll. Ciri-cirinya adalah antara lain:

§  Berwarna putih kental, namun kadang-kadang juga berwarna lain seperti kuning bahkan ada yang berwarna merah, atau
§  Keluar dengan disertai memancar/tadafu`
§  Terasa nikmat ketika keluar
§  Berbau adonan tepung ketika basah dan telur putih ketika kering
§  Setelah keluar mani badan akan sedikit terasa lemah

Apabila ditemukan pada satu cairan yang keluar dari lubang qubul dengan salah satu sifat diatas maka dihukumi sebagai mani. Mani hanya diperdapatkan pada orang yang telah baligh, sehingga bila keluar cairan pada anak-anak yang berusia belum mungkin baligh (dibawah 9 tahun) maka tidak dihukumi sebagai mani.
Hukum dari keluar mani adalah orang tersebut akan dihukumi berhadats besar, maka untuk dapat melaksanakan shalat, membaca al-quran atau menetap dalam masjid harus terlebih dahulu mandi wajib. Selain itu cairan mani tidak dihukumi najis, sehingga pakaian yang berlumuran mani sah digunakan untuk shalat.
Dalam satu hadist disebutkan:
عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ مُسْلِمْ
"Bahwasanya aku dahulu mengerik (air mani) dari pakaian Rasulullah SAW, kemudian beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.”  (HR. Muslim)


Mazi:
Mazi adalah cairan yang berwarna putih bersih, bening, atau agak kuning namun licin. Biasanya ia keluar ketika awal-awal bangkit syahwat dan belum mencapai puncaknya, biasanya cairan mazi tidak berbau. Seringkali mazi keluar tanpa terasa. Mazi banyak keluar pada kaum wanita terutama ketika mereka bangkit syahwat. Dalam satu hadist Shahihain disebutkan:

عن على قال : كنت رجلا مذاء فكنت أستحيى أن أسأل رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لمكان ابنته فأمرت المقداد بن الأسود فسأله فقال يغسل ذكره ويتوضأ

“Dari Ali ra, beliau berkata: saya adalah laki-laki yang banyak mazi, maka saya merasa malu bertanya kepada Rasulullah SAW karena posisi anak beliau (Fathimah, istri Saidina Ali) maka saya perintahkan Miqdad bin Aswad maka iapun bertanya kepada Rasulullah, maka jawab Rasulullah: basuhlah zakar dan berwudhuk”.(H.R Imam Bukhary dan Muslim).

Wadi:
Wadi adalah cairan putih yang keruh kental yang keluar biasanya setelah buang air kecil ataupun ketika mengangkat beban yang berat. Wadi tidak hanya diperdapatkan pada orang dewasa tetapi juga didapati pada anak-anak.

Hukum bagi orang yang keluar mazi dan wadi tidak diwajibkan mandi, namun cairan mazi dan wadi tergolong dalam najis, sehingga wajib dibasuh/disucikan.

Walaupun telah ada beberapa sifat yang bisa membedakan mani, mazi ataupun wadi, namun dilapangan kadang-kadang kita temukan cairan yang kadang-kadang kita ragu dalam menentukannya, apakah mani atau bukan. Biasanya hal ini terjadi ketika tertidur, pada pagi harinya ditemukan cairan sedangkan semalam ia tidak merasakan apapun ketika cairan tersebut keluar sedangkan baunya juga tidak mendekati bau mani. Maka dalam kondisi demikian ia boleh memutuskan salah satu, cairan tersebut mani maka ia wajib mandi wajib dan pakaiannya tidak dihukumi bernajis ataupun mazi maka tidak tidak wajib mandi tetapi wajib mennyucikan pakaiannya karena mazi dihukumi bernajis. Namun walaupun demikian, yang lebih aman adalah ihtiyadh/waspada dengan cara mandi karena kemungkinan iatu adalah mani dan juga menyucikan pakaian yang terkena cairan tersebut karena kemungkinan itu mazi.

ETIKA BERTAMU


Etika untuk bertamu

1. Beri’tikad Yang Baik
Di dalam bertamu hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memiliki i’tikad dan niat yang baik. Bermula dari i’tikad dan niat yang baik ini akan mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi.

2. Beritahu Lebih Dahulu
Di kota besar seperti Jakarta, di mana banyak penghuni rumah sibuk bekerja, sebaiknya beritahu dulu lewat telepon bila ingin bertamu. Bagi orang yang dikunjungi, ini jadi semacam pemberitahuan, dan dia akan merasa dihargai bila ditanya lebih dulu. Bisa saja pada waktu Anda datang, dia ada acara lain atau tidak mau diganggu tamu. Bagi Anda, akan mendapat kepastian, apakah si penghuni ada di rumah dan siap Anda kunjungi.

3. Tepat Waktu
Bila Anda berjanji datang jam sekian, usahakan tepat waktu. Ini akan memberi kesan yang baik kepada tuan rumah. Dan memudahkan tuan rumah mengatur waktu. Bisa saja ia punya kegiatan yang amat sangat padat, sehingga ketika menyetujui Anda datang pada waktu tertentu, hanya itu waktu yang ia punya untuk Anda.

4. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah bahkan tetangganya.

5. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah
Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian saudaranya itu terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Para shahabat bertanya: “Bagaimana bisa dia menyebabkan saudaranya terjatuh ke dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab: “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim)

6. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (An Nur: 27)
“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-Nur 27-28)

Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk.

Bagaimana Tata Cara Meminta Izin?

a. Mengucapkan salam
Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (An Nur: 27).
Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya: “Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk? Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan: “Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau.” (HR. Abu Dawud)

b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata, Abu Musa telah meminta izin tiga kali kepada Umar untuk memasuki rumahnya, tetapi tidak ada yang menjawab, lalu dia pergi, maka sahabat Umar menemuinya dan bertanya, “Mengapa kamu kembali?” Dia menjawab, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, Barangsiapa meminta izin tiga kali, lalu tidak ada jawaban, maka hendaklah kembali. (Shahih HR. Ahmad)

7. Tidak Menghadap Ke Arah Pintu Masuk, Namun Disisi Kanan atau Kirinya
Ketika tamu tiba di depan rumah, hendaknya tidak menghadap ke arah pintu. Tetapi hendaknya dia berdiri di sebelah pintu, baik di kanan maupun di sebelah kiri. Hal ini dicontohkan Rasululloh SAW.Dari Abdulloh bin Bisyer ia berkata,“Adalah Rasululloh SAW apabila mendatangi pintu suatu kaum, beliau tidak menghadapkan wajahnya ke depan pintu, tetapi berada di sebelah kanan atau kirinya dan mengucapkan”Assalamu ‘alaikum … assalamu ‘alaikum …”(Shahih HR. Abu Dawud)

8. Mengenalkan Identitas Diri
Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra’ Mi’raj, beliau bersabda (artinya) : “Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” Kemudian ditanya lagi: “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab: “Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Saya datang kepada Rasulullah untuk membayar hutang ayahku. Lalu aku mengetuk pintu rumahnya. Lalu beliau bertanya, “Siapa itu?” Lalu aku menjawab, “Saya.” Nabi berkata, “Saya?… Saya? … seakan-akan beliau tidak menyukainya. (HR. Bukhari)

9. Dilarang Mengintai Ke Dalam Bilik
Jika kita hendak bertamu dan telah sampai di halaman rumah, tidak diizinkan mengintip melalui jendela atau bilik, walaupun tujuannya ingin mengetahui penghuninya ada atau tidak.
Dari Anas bin Malik, sesungguhnya ada seorang laki-laki mengintip sebagian kamar Nabi, lalu Nabi berdiri menuju kepadanya dengan membawa anak panah yang lebar atau beberapa anak panah yang lebar, dan seakan-akan aku melihat beliau menanti peluang untuk menusuk orang itu. (HR. Bukhari)

10. Tidak Masuk Rumah Walaupun Terbuka Pintunya.
Dari ayat 27 An Nuur, sebagaimana telah ditulis di atas, kita baru boleh masuk rumah orang lain harus mendapatkan izin dari pemilik rumah.

11. Bila Diminta Pulang, Hendaknya Pulang
Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (lihat ayat diatas)

12. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kunjungan tersebut, serta dapat mem-pertimbangkan dengan waktu/ keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para malaikat yang bertamu kepada Ibrahim u di dalam Al Qur’an (artinya): “Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz Dzariyat: 32)

13. Tidak Masuk Bila Yang Mengizinkan Wanita
Seorang tamu pria hendaknya tidak masuk rumah apabila yang mempersilahkan masuk adalah seorang wanita. Kecuali wanita tersebut telah diizinkan oleh suaminya atau mahromnya.
Amr berkata, Rasulullah melarang kami meminta izin untuk menemui wanita tanpa mendapat izin suaminya. (Shahih HR. Ahmad)
Dari Amr bin Al-Ash dia berkata, Sesungguhnya Rasulullah melarang kami masuk di rumah wanita yang tidak ada mahromnya. (Shahih HR. Ahmad)

14. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya
Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah. Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah Ta’ala: “…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan,…” (Al Ahzab: 53)

15. Tidak Menceritakan Aibnya Kepada Orang Lain
Abu Hurairoh, dia berkata, Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Tahukah kamu apa ghibah itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu beliau bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu (kepada orang lain) dengan sesuatu yang ia benci.” Lalu dikatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila aib yang kuceritakan itu memang benar?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu ceritakan itu benar, berarti kemu meng-ghibah-nya. Jika tidak, berarti engkau berbuat dusta.” (HR. Muslim)
16. Mendo’akan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan rumah, lebih baik lagi berdo’a sesuai dengan do’a yang telah dituntunkan Nabi , yaitu : “Ya Allah…, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim)